Asosiasi PLTA Tolak Skema Power Wheeling, Ini Alasannya

2 days ago 2
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) tidak mendukung penerapan kebijakan power wheeling. Hal ini lantaran Indonesia dipandang masih belum siap menerapkan kebijakan tersebut.

Power wheeling merupakan skema pemanfaatan bersama jaringan listrik (PBJTL). Hal ini memungkinkan pihak swasta membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung kepada masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.

Ketua APPLTA, Zulfan Zahar menilai, power wheeling dilakukan salah satunya saat transmisinya telah tersedia. Sedangkan di Indonesia infrastrukturnya belum rampung sepenuhnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami terus terang, dari asosiasi tidak mendukung adanya power wheeling diadakan saat ini," kata Zulfan dalam acara detikcom Leaders Forum 'Menuju Indonesia Hijau: Inovasi Energi dan Sumber Daya Manusia,' di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2024).

Menurutnya, ketika transmisi tidak tersedia kemudian dilakukan power wheeling, pihaknya khawatir produk tidak layak secara komersial. Alhasil, pembiayaan dari perbankan sulit didapatkan.

"Ketika transmisi tidak tersedia kemudian dilakukan, kami khawatir, kami pengembang, pembelinya ada, tapi tidak layak secara komersial dan kita tidak bisa dapat pembiayaan dari perbankan," ujar dia.

"Ini yang kita harap bisa ditunda (implementasinya). Silakan diskusi PLN dengan pemerintah," imbuhnya.

Zulfan juga menilai, saat ini kontrak yang dijalin PT PLN (Persero) dalam penyediaan listrik telah cukup baik. Namun, apabila di saat-saat ini PLN menggandeng swasta, justru ia khawatir kontrak dengan pengembang tak akan mampu mendapatkan persetujuan pembiayaan dari perbankan.

"Kalau kami lihat dengan kontrak PLN saat ini, kami rasa itu sudah cukup baik secara kontrak dan kami sudah cukup kuat dengan itu. Dan kalau ini harus di-bidding ke swasta atau di-power wheeling-kan, kami tidak yakin kontrak kami akan bankable," katanya.

Skema power wheeling di RUU EBET berlanjut ke halaman berikutnya.

Sebagai tambahan informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah sedang membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBET), salah satu yang sedang alot dibahas terkait skema power wheeling.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai pasal power wheeling dalam RUU EBET melanggar konstitusi, mengurangi pendapatan negara, dan menggerus Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

"Mengizinkan Independent Power Plant (IPP) menjual listrik secara langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," katanya Fahmi Radhi dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/9/2024).

Menurutnya, power wheeling justru akan menggerus pendapatan negara, lantaran 90% penjualan listrik berasal dari pelanggan industri.

"Selain menggerus pendapatan negara, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent dipengaruhi matahari dan angin," ungkap Fahmy.

Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Kalau tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi dari biaya operasional ketenagalistrikan.

Membengkaknya pengeluaran APBN untuk kompensasi tersebut sudah pasti akan menggerus APBN yang berpotensi mengurangi anggaran APBN untuk membiayai program strategis Presiden terpilih Prabowo Subianto, termasuk program makan bergizi gratis.

Senada, Anggota Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI), Riki Firmandha, menilai bahwa skema power wheeling bakal berisiko mengerek tarif dasar listrik dan memperbesar anggaran subsidi yang diberikan oleh negara.

Riki menjelaskan, masuknya power wheeling berisiko membuat harga listrik energi terbarukan menjadi berbeda dengan harga listrik yang sudah ditetapkan pemerintah. "Proses distribusinya pun akan membuat biaya energi makin mahal karena negara akan kesulitan menentukan tarif dasar listrik," kata Riki, dihubungi, Jumat (6/9/2024).

Ia berharap agar RUU EBET lebih fokus pada insentif yang diberikan kepada pengembang energi baru terbarukan. "Bukan malah melegitimasi liberalisasi sistem ketenagalistrikan," ungkapnya.

Read Entire Article