Cerita Eks Pejabat PT Timah Sulit Atasi Penambang Liar: Masalah Perut Rakyat

1 week ago 4
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Jaksa menghadirkan mantan Kepala Unit Produksi wilayah Bangka Belitung PT Timah Tbk, Ali Samsuri, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang merugikan negara Rp 300 triliun. Dalam kesaksiannya, Ali bercerita kesulitan PT Timah mengatasi penambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) mereka di Bangka Belitung.

Ali bersaksi untuk terdakwa crazy rich Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa. Mulanya, Ali mengatakan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah sudah terjadi sejak tahun 2005.

"Yang masuk itu yang sejak 2005 yang saudara lihat fakta yang saudara lihat itu apakah perorangan atau gimana? Masif masuknya atau gimana yang saudara tahu?" tanya Ketua Majelis Hakim, Rianto Adam Pontoh, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau secara pasti saya kurang tahu, Yang Mulia, cuman kalau penambangan ilegal oleh masyarakat itu terjadi, Yang Mulia. Apakah dalam jumlah besar atau ini, saya kurang memahami," jawab Ali.

Ali mengatakan masyarakat yang melakukan penambangan ilegal bergerak secara berkelompok dan berpindah-pindah. Dia mengatakan penambang ilegal sudah sering dihalau, namun masuk lagi ke wilayah IUP PT Timah saat petugas lengah.

"Sepengetahuan saya, Yang Mulia, masyarakat ini dia ada yang berkelompok ada yang perseorangan dan kalau yang berkelompok ini biasanya yang skala kecil, yang pekerjanya nomaden. Hari ini kita tertibkan di titik A, dari perusahaanlah ya dari divisi pengamanan misalnya, memberikan sosialisasi. Mungkin sehari dua hari dia berhenti, tetapi berapa hari kemudian dia sudah di tempat lain yang lagi," ujar Ali.

Dia menyebut penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah sulit dikontrol. Dia mengatakan para penambang liar selalu mengatasnamakan masalah 'perut rakyat' sehingga masih melakukan penambangan.

"Jadi nggak terkontrol ya?" tanya hakim.

"Susah untuk mengontrol, Yang Mulia, dan mereka mengatasnamakan biasanya ya perutlah, masalah perut rakyat gitu kan," jawab Ali.

Ali mengatakan laporan terkait penambangan ilegal di IUP PT Timah ke aparat penegak hukum dilakukan oleh divisi keamanan. Menurutnya, PT Timah tak mampu menghalangi penambang ilegal tersebut.

"Apakah direksi dalam hal ini PT Timah itu ada melaporkan nggak ke penegak hukum di wilayah itu? Aparat penegakan hukum mengenai penertiban tadi?" tanya hakim.

"Kalau sepengetahuan saya secara pasti saya tidak tahu Yang Mulia, tapi dominannya ada di divisi pengamanan yang melaporkan," jawab Ali.

Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

"Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024," ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (21/8).

Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah yang sebenarnya berasal dari penambang ilegal di wilayah izin usaha PT Timah. Jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.

(mib/haf)

Read Entire Article