KLHK Jelaskan Alasan UU KSDAHE Direvisi Usai 32 Tahun: Perlu Ada Penguatan

16 hours ago 1
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI menjelaskan alasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) diterapkan. KLHK menilai perlu adanya penguatan beberapa aspek.

"Perubahan pasal-pasal itu ada tujuan menguatkan kembali ketika 32 tahun banyak yang harus diatur kembali," kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono di kantor KLHK, Kamis (19/9/2024).

Bambang mengatakan perjalanan RUU KSDAHE ini panjang. RUU tersebut pertama diusulkan pada Januari 2022 hingga akhirnya disahkan melalui rapat bersama DPR RI pada Agustus 2024.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada prinsipnya, dalam menentukan aturan, KLHK memperhatikan tiga pilar konservasi. Yakni perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari.

Bambang menilai tiga pilar tersebut tercantum pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990. Dengan demikian, aturan tersebut tidak perlu dicabut, melainkan perlu adanya perubahan yang pada akhirnya tertuang pada RUU KSDAHE.

"Dari tiga pilar itulah begitu dilihat dari pasal 5/90 itu sudah dicantumkan di Pasal 5. Jadi substansi hukum pasal 5 ini tidak boleh kita cabut ketika selama 32 tahun, tiga pilar ini terasa sekali manfaatnya yang sudah terlihat dari kebijakan pemerintah dan kawan-kawan yang sudah bekerja. Sehingga itu yang menjadikan 5/90 itu sudah menjadi acuan kita selama ini, dan melihatnya memang ada penjelasan-penjelasan pasal," jelasnya.

Bambang mengatakan dalam RUU KSDAHE yang baru ada beberapa penguatan. Salah satunya yakni pelibatan masyarakat dalam menjaga KSA (Kawasan Suaka Alam) dan KPA (Kawasan Pelestarian Alam).

"Peran serta mereka yang akan menjaga itu semua. Sehingga bagaimana menjamin hak-hak mereka, akses legal mereka, kegiatan mereka, tapi tetap dalam satu prinsip tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar kalau di fungsi konservasi apa yang dilarang, di fungsi lindung apa yang dilarang, di fungsi produksi apa yang diperbolehkan dan sebagainya. Jadi kita sepakat, masyarakat hukum adat juga sama, di wilayah masyarakat hukum adat mengelola wilayah itu prinsip konservasi harus dijaga," ujarnya.

Sementara itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Satyawan Pudyatmoko mengatakan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 sebetulnya sudah mengakomodir pembangunan nasional berkelanjutan. Namun demikian, melalui RUU KSDAHE dilakukan penguatan.

"Ada beberapa esensi kebaruan, dalam Undang-Undang 32 tahun 2024 untuk menanggapi kebutuhan publik sebetulnya. Karena Undang-undang itu kan proses politik yang mau tidak mau harus menampung aspirasi masyarakat dan kita juga harus melakukan evaluasi sebenarnya apa sih penguatan penguatan yang akan dilakukan di Undang-Undang 32 tahun 2024," jelasnya.

Satyawan pun merinci beberapa penguatan dalam RUU KSDAHE tersebut. Pertama, pengaturan kegiatan konservasi di KSA dan KPA, kawasan konservasi di wilayah perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil serta (KKPWP3K) serta area preservasi.

Selain itu ada terkait ekosistem penting di luar kawasan hutan konservasi dan hutan negara dengan tujuan untuk menjamin penerapan prinsip konservasi di luar area KSA, KPA, KKPWP3K melalui pengaturan area preservasi.

Satyawan juga menjelaskan adanya penguatan terkait larangan dan sanksi bagi para pelanggar. Lebih lanjut, peran aktif masyarakat, pendanaan hingga sumber daya genetik pun turut dikuatkan dalam aturan yang baru.

"Aspek pendanaan konservasi, untuk biodiversitas ada dana konservasi dana perwalian dan sebagainya. Kita sadar bahwa APBN tentu sangat terbatas dalam membiayai konservasi sehingga bentuk-bentuk inisiatif baru terobosan baru dalam mendanai konservasi perlu dilakukan. Akan tetapi dalam Undang-Undang 5 payung hukum belum ada sehingga di dalam Undang-Undang 32 diberi payung hukum kuat untuk melakukan inovasi-inovasi di dalam pendanaan konservasi," jelasnya.

"Undang-Undang revisi ini menampung kebaruan-kebaruan kepentingan publik di dalam negeri juga untuk tetap relevan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia," sambungnya.

(wnv/taa)

Read Entire Article