
Penyakit Akibat Kerja, Bahaya Laten, Zero Accident, Deteksi Dini, Sistem K3, Pelaporan PAK, Kebijakan Kesehatan Kerja
Dalam setiap kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), frasa “zero accident” sering dijadikan slogan keberhasilan. Spanduknya terpampang megah di gerbang pabrik, seolah menjadi bukti bahwa tempat kerja aman dan terkendali dari bahaya di tempat kerja.
Namun di balik pencapaian itu, ada satu kenyataan yang kerap luput perhatian: penyakit akibat kerja (PAK)—bahaya yang tak terlihat, tidak tercatat, dan tidak tertangani secara layak.
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), lebih dari 80 persen kematian akibat kerja disebabkan oleh PAK, bukan kecelakaan kerja (KK). Tapi mengapa justru PAK yang paling jarang muncul dalam laporan K3? Jawabannya bukan karena PAK tidak ada, tapi karena lebih sulit teridentifikasi, terabaikan bahkan ‘tertutupi’.
Berbeda dengan kecelakaan kerja yang langsung terlihat—misalnya luka akibat jatuh, tertimpa alat berat, cedera atau tersengat listrik—PAK berkembang perlahan dan samar. Paparan terhadap zat kimia, logam berat, debu, suhu ekstrem, postur kerja tidak ergonomis atau tekanan kerja psikis tidak langsung menimbulkan gejala hari itu juga. Gejala dan penyakitnya bisa muncul bertahun-tahun kemudian, bahkan saat pekerja sudah memasuki masa pensiun.
Karena sifatnya yang laten, PAK sulit dikenali dan seringkali tidak dikaitkan dengan pekerjaan. Pekerja mungkin mengira penyakitnya murni karena faktor usia atau gaya hidup. Padahal, itu bisa saja akibat akumulasi paparan di tempat kerja yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu lama.
Mengapa PAK Sulit Terungkap? Masalah utama bukan pada keberadaan PAK, tetapi pada sistem yang belum mampu menangkap dan mengenali keberadaannya. Setidaknya ada empat faktor yang menjadi pemicu mengapa PAK nyaris tak pernah muncul ke permukaan:
Gejalanya tidak spesifik dan muncul terlambat, sehingga tidak mudah dikenali sebagai penyakit akibat kerja. Fenomena ini lebih sebagai ancaman yang sewaktu-waktu meledak tanpa aba-aba.
Banyak tenaga medis tidak memiliki kapasitas dalam mendiagnosis penyakit akibat kerja. Kurikulum kedokteran belum menjadikan kedokteran kerja sebagai bagian penting dalam pendidikan dasar.
Perusahaan enggan melaporkan kasus PAK karena dianggap dapat merusak citra perusahaan atau membuka ruang audit secara menyeluruh. Tak jarang, pengobatan dilakukan diam-diam atau pekerja didorong untuk pensiun dini tanpa dokumentasi medis yang lengkap.
Prosedur klaim yang berbelit dan menyulitkan pekerja dengan menunjukkan diagnosa dari dokter spesialis, bukti riwayat kerja, catatan paparan bahaya, dan validasi dari BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam praktiknya, pekerja yang sudah tidak aktif atau berasal dari sektor informal hampir mustahil memenuhi semua syarat itu karena tidak didesign menjangkau lebih luas pekerja yang terfragmentasi di sektor yang beragam dengan sistem, pola dan hubungan kerja yang lebih kompleks.
Akibatnya, banyak pekerja yang sakit akibat kerja memilih tidak melaporkan, tidak mengurus klaim atau bahkan tidak tahu bahwa mereka terkena PAK. Akhirnya, banyak tidak tercatat dan tidak masuk dalam statistik resmi khususnya berkaitan dengan ketenagakerjaan.
Dampaknya Terhadap Kebijakan
Ketika PAK tidak tercatat, maka bahayanya tidak dikenali dalam sistem. Tidak ada data yang bisa dijadikan dasar untuk mendiagnosa dan menetapkan prioritas. Tidak ada urgensi untuk menyusun kebijakan dan strateginya. Tidak ada rujukan untuk mengembangkan layanan pengobatan atau rehabilitasi khusus.
Padahal, kebijakan yang baik seharusnya lahir dari data yang nyata. Karena PAK tersembunyi, maka program promotif, preventif, maupun kuratif, tidak berkembang secara memadai.
Kesulitan temuan PAK bukan karena penyakit itu tidak ada, tetapi karena tidak muncul ke permukaan. Di sinilah letak krisis yang sering tidak disadari: kita membangun kebijakan tanpa benar-benar mengetahui besarnya persoalan.
Menuju Sistem yang Lebih Jujur dan Responsif
Jika ingin memperbaiki situasi ini, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah mengakui bahwa sistem kita yang ada saat ini belum mampu menangani PAK dengan benar. Beberapa perbaikan mendesak yang bisa dilakukan antara lain:
Mempermudah klaim PAK dengan pendekatan berbasis riwayat kerja dan indikasi paparan, bukan hanya bukti medis yang sering tidak tersedia seperti di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Membangun sistem dokumentasi paparan kerja yang terintegrasi dan jangka panjang agar data tetap tersedia bahkan setelah pekerja pensiun.
Memperkuat kapasitas diagnosis di layanan kesehatan kerja dengan pelatihan bagi dokter umum dan tenaga medis di fasilitas layanan primer.
Mendorong perusahaan untuk transparan dalam pelaporan PAK, bukan hanya menghindari sanksi tapi diberi insentif ketika bersikap jujur dan bertanggung jawab.
Penutup: Bukan Sekadar 'Tidak Ada Kecelakaan'
Sudah saatnya kita melepaskan diri dari ilusi “zero accident” yang hanya berfokus pada kejadian-kejadian yang kasat mata. K3 tidak hanya berarti minimnya kecelakaan, tetapi juga teridentifikasinya penyakit yang pelan-pelan menggerogoti pekerja.
Penyakit akibat kerja adalah realitas yang diam tapi dampaknya nyata. Tanpa keberanian untuk mengakui dan memperbaiki sistem deteksinya, kita akan terus membiarkan ribuan pekerja menghadapi hari tua dengan penyakit yang seharusnya bisa dicegah.