REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Polemik soal dugaan peredaran beras oplosan kembali mencuat setelah pemerintah memeriksa 212 merek beras yang dianggap melanggar ketentuan mutu. Pedagang yang ditemui Republika mengungkapkan akar dari kejadian tersebut.
Di lapangan, pedagang dan petani memberikan pandangan berbeda. Menurut mereka apa yang disebut sebagai “oplosan” justru dianggap sebagai strategi bertahan hidup di tengah mahalnya harga gabah dan stagnannya harga eceran tertinggi (HET).
"Menurut saya kalau saat ini beras oplosan itu kayaknya nggak mungkin. Beras oplosan itu biasanya yang dioplos dengan beras subsidi dari pemerintah. Sementara untuk saat ini pemerintah nggak keluarin beras subsidi. Operasi pasar, SPHP, belum," kata salah satu penjual beras Haryanto (45 tahun) saat ditemui Republika di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Senin (14/7/2025).
"Itu sebenarnya kerja sudah istilahnya pahit-pahitan ya. Dari istilahnya nurunin kualitas biar bisa harganya nutup," katanya. Menurutnya sejumlah produsen terpaksa melakukan hal itu karena tidak bisa mengimbangi harga HET beras.
"Beras turun mutu itu yang harusnya spek 5 persen kadar broken (butir beras patah), dia diturunin ke 10 persen atau 15 persen. Nah itu tujuannya untuk apa? Untuk ngimbangin harga gabah yang tinggi di satu sisi, harga HET-nya untuk beras premium itu nggak mau naik," katanya.
Menurutnya, istilah “oplosan” terlalu berlebihan dan menimbulkan kesan negatif, padahal upaya menurunkan mutu dilakukan agar harga jual tetap masuk akal. Ia juga mengatakan hal itu merugikan pedagang karena masyarakat menjadi was-was kendati hingga kini belum ada pengaruh kepada daya beli.
"Ya pastilah. Kalau banyak berita ini konsumen juga was-was juga kan. Dikira memang diboongin," katanya. "Padahal kalau mau diadu beras swasta yang dia bilang nggak masuk tadi diadu sama beras bulog juga berani diadu lah masalah kualitas sama rasa," katanya menambahkan.
Saat ini, harga gabah kering panen (GKP) disebut sudah menembus Rp 7.000 per kilogram meskipun pemerintah menyebut harga GKP Rp 6.500/kg. Harga itu dianggap sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang menyerap gabah lokal untuk cadangan beras nasional, menggantikan praktik impor di tahun-tahun sebelumnya.
“Yang bikin susah sekarang, kita masih diatur pakai HET (Harga Eceran Tertinggi) lama, tapi biaya produksinya naik terus,” katanya.
Ia menyebut proses pengepakan kecil (5 kilogram) bisa menambah biaya operasional hingga Rp 500/kg. "Kemasan 5 kilo itu operasionalnya lebih tinggi. Per kilo bisa mencapai kurang lebih Rp 500. Misalnya saat ini beras premium itu per 50 kilo Rp 14.500 atau Rp 14.400. Ditambah Rp 500 operasional jadi beras 5 kilo tadi jatuhnya udah hampir Rp 15.000 kan Itu udah melanggar HET," katanya.
"Ya mungkin belum tentu juga untuk mendapatkan untung. Ya mungkin buat mempertahankan merek, mempertahankan langganan yang sudah bisa kontinu belanja merek itu. Suatu saat kita mempertahankan produk kita di mata di konsumen," katanya.