
RATUSAN ribu warga Palestina yang telah mengungsi berkali-kali akibat serangan udara Israel di Jalur Gaza kini menghadapi ancaman lain, datangnya cuaca musim dingin yang ekstrem.
Di sebuah kamp yang penuh sesak di Gaza. Kamp itu diperuntukkan untuk mereka yang mengungsi akibat perang antara Israel dan Hamas.
Seorang pengungsi, Ayman Siam meletakkan balok-balok beton di sekitar tendanya untuk menjaga keluarganya tetap hangat, saat hujan mengancam dan menimbulkan lebih banyak kesengsaraan lainnya.
“Saya berusaha melindungi tenda saya dari air hujan karena kami memperkirakan akan terjadi hujan lebat. Tiga hari lalu saat hujan turun, kami basah kuyup,” kata Siam, berusaha melindungi anak-anak dan cucu-cucunya untuk menghangatkan diri saat kedinginan.
Siam merupakan salah satu dari ribuan orang yang berlindung di stadion olahraga Yarmuk di Kota Gaza di utara setelah terusir akibat perang Israel-Hamas.
Banyak yang mencari perlindungan di stadion olahraga Yarmouk di Kota Gaza, di mana tenda-tenda tua yang terbuat dari kain putih berubah warna menjadi coklat setelah hujan lebat di malam hari.
Siam tinggal di salah satu dari banyak tenda tipis yang didirikan di stadion, di mana lapangannya telah menjadi ladang berlumpur yang dipenuhi genangan air akibat hujan yang menghanyutkan barang-barang dan tempat berlindung.
Orang-orang di stadion menggali parit kecil di sekeliling tenda mereka, menutupinya dengan lembaran plastik, dan melakukan apa pun yang mereka bisa untuk menghentikan air memasuki rumah sementara mereka.
Yang lain menggunakan sekop untuk mengarahkan air ke saluran pembuangan, karena langit mendung mengancam akan terjadi hujan lagi.
Seperti di tempat penampungan pinggir laut, anak-anak kecil berdiri tanpa alas kaki di aspal basah atau berjalan melalui genangan air, hanya mengenakan pakaian yang cukup untuk menghangatkan diri, sementara orang tua mereka berusaha memperbaiki tenda yang rusak
"Cuaca saat ini menjadi salah satu risiko terbesar bagi warga Palestina di Gaza dan merupakan komponen lain yang dapat membunuh orang," kata Louise Wateridge, pejabat senior tanggap darurat UNRWA, kepada CNN dari Kota Gaza.
"Angin dan hujan semakin kencang dan orang-orang tinggal di bangunan yang sangat, sangat berbahaya… cuaca buruk ini dapat merobohkan bangunan-bangunan ini dan menimpa orang-orang,” tambahnya.
Seorang pengungsi lainnya, Sami Salehi mengatakan dia melarikan diri dari penderitaan, serangan udara, serangan dan kematian di utara, mencari perlindungan di Kota Gaza.
Namun, air telah menenggelamkan tendanya dan ia tidak memiliki bahan bakar atau kayu untuk menyalakan api.
Sambil mengambil selimut dan kasurnya yang basah, ia mengeluh bagaimana nasib dan 14 anggota keluarganya beristirahat malam itu.
"Tenda ini terbuat dari kain, jadi kalau air masuk, airnya akan menyebar ke mana-mana. Dan kami berada di daerah dataran rendah, jadi meskipun atapnya melindungi kami, air akan tetap masuk dari bawah," katanya.
Setelah menderita cidera akibat serangan udara Israel, Salehi berpikir dia akan mati, tetapi terkejut melihat Tuhan telah menyelamatkan hidupnya.
“Saya lebih suka mati saja. Kematian lebih terhormat daripada kehidupan ini," terangnya.
Di stadion, Umm Ahmed Saliha menunjukkan air yang menggenang di bawah tendanya saat salat subuh.
“Semua ini berasal dari hujan pagi ini dan musim dingin belum benar-benar dimulai," ujarnya.
Di Gaza utara, militer Israel tengah melancarkan operasi besar-besaran yang telah memasuki bulan kedua.
Mengungsi berkali-kali
Mayoritas dari 2,4 juta penduduk Gaza telah mengungsi, seringkali berkali-kali, akibat perang yang dimulai dengan serangan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober 2023.
Dengan banyaknya pengungsi yang tinggal di kamp tenda, musim dingin mendatang menimbulkan kekhawatiran serius.
Juru bicara badan pertahanan sipil Gaza, Mahmud Bassal mengatakan puluhan ribu orang yang mengungsi, terutama di wilayah tengah dan selatan Jalur Gaza, menderita tenda-tenda yang banjir akibat hujan, dan meminta masyarakat internasional untuk menyediakan tenda dan bantuan.
Organisasi bantuan internasional telah membunyikan peringatan tentang memburuknya situasi saat musim dingin mendekat.
"Ini akan menjadi bencana besar,” kata Louise Wateridge, petugas darurat di badan PBB untuk pengungsi Palestina yang saat ini berada di Gaza.
“Orang-orang tidak memiliki apa pun yang mereka butuhkan,” katanya dari Kota Gaza dilansir dari Al Arabiya, Minggu (15/12).
“Mereka tidak memiliki hal-hal yang sangat mendasar selama 13 bulan, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada tempat berteduh,” tambahnya.
“Ini akan menjadi sangat menyedihkan, ini akan menjadi sangat menyedihkan," lanjutnya.
Suhu rata-rata di Gaza turun antara 10°C dan 20°C (50F hingga 68F) pada Desember, turun beberapa derajat lebih rendah pada bulan Januari.
Musim hujan biasanya berlangsung dari November hingga Februari, dengan Januari sebagai bulan terbasah.
Air yang membanjiri beberapa tenda di Deir al-Balah membasahi semua yang ada di dalamnya, membuat selimut dan karpet kusut dan berdebu.
Lembaran plastik besar yang berfungsi sebagai lantai tenggelam ke dalam pasir basah, tidak menyisakan apa pun di antara mereka yang berlindung di dalam dan tanah kosong.
“Apa yang akan membuat kita tetap hangat malam ini?” tanya Mohammad Younis, sambil mengambil pakaiannya yang basah.
“Kami seperti pengemis di hadapan dunia, dan tak seorang pun peduli pada kami. Aku tak tahu di mana aku akan tidur. Aku akan berakhir tidur di laut,” tangisnya.
Terpal yang berfungsi sebagai atap tenda Younis kini robek, sehingga air pun masuk.
Di tenda darurat lain yang terendam banjir akibat gelombang laut, satu keluarga pengungsi yang terdiri dari 10 orang duduk menggigil sementara sang ibu, Um Fadi, memasak di atas api unggun.
Ketika mereka mengungsi dari Rafah beberapa bulan lalu, katanya, mereka terpaksa berlindung di pantai karena tidak ada tempat lain untuk dituju.
"Kami terjebak dari segala arah. Dari laut, dari Israel, dari tidak punya rumah, dari kelaparan," ungkapnya.
Pertahanan sipil Gaza melapotkan hujan baru-baru ini telah membanjiri ratusan tenda di dekat pantai di Deir al-Balah, di Gaza tengah, di Khan Yunis dan Rafah di selatan.
Tidak ada yang tersisa
Di kamp pengungsian sementara di dekat laut di Deir al-Balah, Gaza tengah, ribuan keluarga berjuang melawan pasang surut, angin kencang, dan hujan yang merusak tenda nilon dan plastik mereka.
Wartawan melaporkan melihat anak-anak berjalan tanpa alas kaki sementara orang tua mereka menyekop pasir, mencoba membangun penghalang pelindung dari laut. Sebelum mereka sempat membuat penghalang, air pasang menghanyutkannya.
“Tidak ada gunanya!” teriak seorang pria.
“Kami datang ke sini karena laut adalah satu-satunya tempat berlindung kami. Dan sekarang laut menyerang kami,” kata yang lain.
Tiang-tiang kayu yang menopang tenda-tenda, yang hampir tidak tertambat ke tanah, berguncang setiap kali ada embusan angin. Keluarga-keluarga berlarian di sekitar tenda-tenda itu dengan cemas, khawatir tenda-tenda itu akan runtuh.
Auni al-Sabea, yang tinggal di tenda di Deir al-Balah, termasuk di antara mereka yang menanggung beban cuaca buruk tanpa akomodasi yang layak.
“Hujan dan air laut membanjiri semua tenda. Kami tidak berdaya. Air menyapu semua isi tenda, termasuk kasur, selimut, dan kendi air. Kami hanya bisa mendapatkan kasur dan selimut untuk anak-anak,” kata pengungsi itu.
“Sekarang, kami berada di jalan dan tidak punya apa-apa lagi,” kata pria berusia 40 tahun dari Kamp al-Shati.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Minggu (8/12) memperingatkan bahwa hampir satu juta warga Palestina yang terlantar akibat perang di Gaza terancam menghadapi cuaca dingin ekstrem dan hujan deras pada musim dingin tahun ini.
“Warga terlantar di Gaza membutuhkan perlindungan dari hujan dan dingin. Saat ini, hanya sekitar 23 persen dari kebutuhan tersebut yang telah terpenuhi, meninggalkan 945.000 orang dalam risiko terpapar cuaca ekstrem di musim dingin ini,” ungkap UNRWA dalam pernyataan...