Warning: session_start(): open(/home/paluwinlo/public_html/src/var/sessions/sess_17c9d39e18c39e323883a7448bab0e93, O_RDWR) failed: Disk quota exceeded (122) in /home/paluwinlo/public_html/src/bootstrap.php on line 59

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /home/paluwinlo/public_html/src/var/sessions) in /home/paluwinlo/public_html/src/bootstrap.php on line 59
Abrasi Makna Idul Fitri - InsightNews

Abrasi Makna Idul Fitri

6 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Oleh : Prof Moh. Isom, Inspektur IV Itjen Kemenag

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Takbir menggema di langit-langit rumah dan masjid. Keluarga berkumpul. Ucapan maaf lahir batin bersahutan. Namun, di tengah kesyahduan itu, kita harus jujur, mengakui makna Idul Fitri tengah mengalami abrasi. Hari yang sejatinya menjadi puncak dari latihan spiritual sebulan penuh, kini bergeser menjadi hari pameran gaya hidup. Dari pakaian seragam keluarga, perhiasan, mobil mewah, hingga pesta makanan semuanya dibingkai dan disiarkan melalui media sosial demi sebuah eksistensi.

Idul Fitri adalah titik balik menuju kesucian, bukan titik puncak kesombongan. Ia adalah momen reflektif, bukan ruang kompetisi citra. Maka, sangat disayangkan ketika euforia hari raya tak lagi mencerminkan spiritualitas, tetapi justru memperlihatkan hilangnya empati dan kesederhanaan dalam kehidupan sosial.

Media sosial telah mengubah cara kita merayakan Idul Fitri. Banyak yang merasa harus memposting momen Lebaran agar tidak ketinggalan, terjebak dalam fenomena fear of missing out (FOMO). Bukan sedikit pula yang membeli barang mewah secara kredit atau menyewa kendaraan hanya demi foto dan validasi sosial.

Islam memang tidak melarang kita bergembira. Rasulullah SAW sendiri memperkenankan kita memakai pakaian terbaik di hari raya. Namun, ketika kebahagiaan itu berubah menjadi ajang unjuk kekayaan dan memicu ketimpangan sosial, maka kita patut bertanya. Masihkah ini Lebaran yang diridhai?

Makna Idul Fitri tak seharusnya diukur dari merek baju atau jumlah hampers yang dikirim. Yang lebih utama adalah bagaimana kita memperlakukan sesama. Apakah kita sudah berbagi, apakah kita sudah menyapa mereka yang selama ini tersisih, dan apakah kita sudah menghapus luka sosial yang menganga?

Open House dan Eksklusivitas Silaturahmi

Tradisi open house semestinya menjadi ruang terbuka bagi siapa pun. Baik tetangga, saudara, anak yatim, hingga fakir miskin. Sayangnya, realitas menunjukkan sebaliknya. Banyak open house yang hanya diperuntukkan bagi relasi bisnis, pejabat, dan kalangan tertentu. Yang miskin sering kali hanya hadir di halaman, menerima amplop tanpa pernah benar-benar diajak duduk dan makan bersama.

Lebih parah lagi, ada yang menyelenggarakan open house menggunakan dana institusi atau anggaran negara. Ini adalah ironi besar. Sebab Islam meletakkan keikhlasan sebagai inti dari setiap amal sosial. Memberi dari dana bukan pribadi, demi pencitraan atau pencapaian politik, adalah perbuatan yang mencederai nilai zakat dan sedekah itu sendiri.

Fenomena lain yang perlu dikritisi adalah munculnya “miskin dadakan” saat pembagian zakat. Banyak orang berpura-pura tak mampu agar mendapat bagian. Di sisi lain, orang-orang yang memberi memamerkan proses sedekah mereka di media sosial.

Zakat adalah ibadah. Ia menyucikan harta. Namun nilai itu sirna jika dilakukan untuk riya. Sedekah yang sejati tidak membutuhkan kamera atau pujian. Seperti sabda Rasulullah, ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu.

Begitu pula dengan silaturahmi. Saat ini, praktik silaturahmi banyak dilakukan hanya untuk membangun citra. Kita berkunjung ke rumah tokoh penting, berharap ditag dalam foto, atau berharap dapat hadiah. Namun rumah-rumah kecil dan sunyi tidak kita singgahi. Silaturahmi semacam ini kehilangan ruhnya. Padahal, hakikatnya adalah menyambung kembali hubungan yang telah renggang, bukan membangun relasi berbasis pamrih.

Harta, kekuasaan, dan status sosial adalah amanah dan ujian. Ketika digunakan dengan baik, mereka bisa menjadi jalan menuju surga. Namun jika disalahgunakan, mereka menjadi jalan menuju kehancuran moral dan sosial. Rasulullah tidak pernah mendidik kita untuk hidup miskin, tetapi untuk hidup bersahaja dan tidak melukai hati orang lain dengan kelebihan yang kita miliki.

Idul Fitri bukanlah momen untuk mengunggulkan diri. Ia adalah panggung untuk menampilkan akhlak terbaik, terutama kepada mereka yang lemah. Kemenangan sejati dalam Islam bukan diukur dari materi, melainkan dari seberapa besar kita mengalahkan ego, menekan nafsu, dan memperluas kasih sayang.

Kembali ke Fitrah Sosial

Pertanyaan paling hakiki yang harus kita renungkan setelah Ramadan adalah apa yang benar-benar berubah dalam diri kita? Jika Ramadan adalah madrasah ruhani, maka Idulfitri adalah wisudanya. Namun, apakah selepas wisuda kita kembali pada kebiasaan lama memanipulasi yang benar, mencaci yang berbeda, menindas yang lemah?

Jika selama puasa kita mampu menahan yang halal, maka setelah Idul Fitri, kita seharusnya lebih kuat dalam menghindari yang haram. Jika selama Ramadan kita ringan bersedekah, maka selepasnya kita mestinya menjadi pribadi yang senantiasa menebar kebermanfaatan. Idul Fitri bukanlah akhir, melainkan awal untuk menjaga reputasi spiritual dan integritas sosial yang sejati.

Islam tidak mengekang kebahagiaan. Justru sebaliknya, Islam mengajarkan kebahagiaan yang lahir dari hati yang bersih, sikap yang rendah hati, dan tangan yang gemar memberi. Karena itu, rayakanlah Idul Fitri dengan kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian. Sambunglah silaturahmi bukan untuk citra, tapi untuk cinta. Berbagilah bukan untuk dipuji, tapi untuk mengobati luka sosial di sekitar kita.

Jangan biarkan makna Idul Fitri hanyut bersama tren, algoritma, dan euforia sesaat. Kembalilah pada fitrah sosial, di mana kesucian bukan terletak pada tampilan, tapi pada perlakuan kita terhadap sesama. Dalam dunia yang gemar menilai dari yang tampak, mari kita menjadi umat yang dinilai dari akhlak. Sebab di hadapan Allah, bukan harta atau status yang paling mulia, tetapi siapa yang paling bertakwa dan paling bermanfaat bagi sesama manusia.

Read Entire Article